Selasa, 09 November 2010

Artikel : Membangun Moralitas dan Etika Bangsa

Membangun Moralitas dan Etika Bangsa

             Dari titik awal bergulirnya era reformasi, bangsa Indonesia terus dihadapkan dengan berbagai  gerakan pencerahan dan pencarian bentuk yang lebih tepat dalam menentukan sistem dan tatanan kemasyarakatan, pemerintahan, kebangsaan dan kenegaraan. Namun yang sering terlupakan, bahkan kadangkala menimbulkan salah penafsiran dan permasalahan adalah, reformasi bukanlah untuk menciptakan segalanya serba instan, dan bukan pula sebuah
upaya melahirkan kebebasan yang kebablasan. Reformasi juga bukan revolusi. Reformasi adalah sebuah tahapan perubahan kehidupan bangsa yang perlu proses yang berkelanjutan dan berkesinambungan. Sehingga ketika telah digulirkan, bukan berarti tugas selesai, melainkan reformasi harus terus dikawal dan dikelola, agar mampu mewujudkan kehidupan bangsa menjadi lebih baik.
 Itulah semangat dan hakikat reformasi. Karenanya kini ketika bangsa ini, masih terus dihadapkan dengan berlangsungnya pertikaan dan benturan antar komponen masyarakat, maka alam reformasi juga harus mampu menciptakan sebuah pencerahan dan perubahan untuk menata kehidupan bangsa agar lebih harmoni. Kondisi inipun, harus mendorong segenap komponen bangsa untuk kembali merenungkan secara mendalam tentang hakikat dan dasar-dasar fundamental kehidupan bangsa ini. Sedangkan yang juga perlu dipertanyakan adalah, bagaimana bangsa ini sebenarnya mampu menempatkan pola pikir, sikap, nilai-nilai dan pandangan hidup yang dianut, termasuk moralitas dan etika kehidupannya.
Meskipun banyak diantara kita antipati terhadap paham Amerika, namun tidak ada salahnya apabila kita sedikit belajar dari konsep Bill Clinton mantan Presiden negara adikuasa itu, dalam bukunya Between Hope and History yang menyebutkan bahwa bangsa Amerika memiliki banyak kebebasan. Tapi kebebasan tersebut, harus dilekatkan dengan tanggungjawab. Menurut Clinton tiga kebebasan di Amerika, yaitu kebebasan berbicara sekaligus tanggungjawab berbicara santun; kebebasan berkumpul termasuk berkumpul secara damai; dan kebebasan pers sekaligus tangungjawab untuk memberitakan secara benar, akurat dan fair. Ini perlu kita cermati, bahwa di negara liberal sekalipun, norma, etika dan aturan sangat diperlukan dan dijunjung tinggi. Lalu, bagaimana dengan bangsa Indonesia, terlebih lagi ketika kecenderungan dan fenomena sosial yang berkembang, seringkali memerlukan tingkat kewaspadaan yang tinggi dari seluruh masyarakatnya?
            Atas dasar itulah, bangsa Indonesia pada hakekatnya membutuhkan pembentukan karakter dan jati diri bangsa yang baik. Pertama, karakter bangsa yang bermoral (religius). Bangsa ini sarat dengan nilai-nilai moral dan etika keagamaan sebagai sebuah pandangan dan praktek. Kedua, karakter bangsa yang beradab, yaitu bangsa berbudaya dan berkeprimanusian. Ketiga, karakter bangsa yang bersatu. Di dalamnya termasuk menegakkan nilai-nilai toleransi, keharmonisan, persaudaraan dan kebersamaan. Keempat, karakter bangsa yang berdaya, yaitu bangsa yang berpengetahuan, trampil dan berdaya saing secara mental, pemikiran maupun teknis. Kelima, karakter bangsa yang berpartisipasi, diantaranya yang ditandai dengan sikap penuh peduli dan rasa tanggungjawab yang tinggi.
           Upaya membangun kembali karakter dan pilar kehidupan bangsa, juga harus disertai dengan upaya membumikan etika, diantaranya etika politik, etika sosial, etika militer, etika pemerintahan, dan etika internasional. Selain itu, di tengah kehidupan masyarakatnya yang majemuk, plural dan heterogen, bangsa ini juga memerlukan konsep keseimbangan, baik antara hak dan kewajiban, antara kebebasan dengan tanggungjawab, maupun juga antara kebebasan dengan pranata atau aturan yang berlaku.
Semua itu juga sangat penting dalam upaya menghayati dan mendasarkan pandangan, wawasan dan pemikiran pada karakter bangsa yang kita anut. Dengan berpegang pada pilar-pilar kehidupan bangsa yang kokoh, hal ini juga akan melahirkan hati nurani yang jernih dalam mencermati berbagai permasalahan di sekitar pikiran, sikap dan lingkungan secara luas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Hal lain yang juga tidak dapat kita pisahkan di tengah perkembangan bangsa adalah, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai agama. Karena agama menempati posisi dan peran yang mendasar dalam pembentukan prilaku, sikap, karakter dan mental setiap umat manusia. Penghayatan dan pengamalan agama, juga sebuah jembatan untuk meminimalkan terjadinya berbagai benturan dan pertikaian dalam kehidupan masyarakat.
Dalam agama, terkandung pola hubungan dengan Yang Maha Kuasa dan hubungan dengan sesama mahluk. Hubungan vertikal manusia dengan Tuhan (hablumminallah) bersifat pribadi dan suci, karena tidak dapat dipertanyakan apalagi diperkarakan. Sedangkan, relasi horizontal antar sesama manusia dan lingkungannya (hablumminannas), disamping bersifat perseorangan, juga sosial dan kultural. Keduanya memiliki hubungan erat dalam konteks kehidupan bangsa. Dimensi Ketuhanan merupakan jiwa dan ruh bagi pengembangan spiritualitas kehidupan bangsa dan negara. Sedangkan aspek hubungan sesama manusia lebih bersifat luas, terbuka, rasional, dan objektif, serta dapat dikembangkan secara adaptif dan interaktif dengan segi-segi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.  
Karenanya, dalam konteks kebangsaan, sangat penting dikembangkan nilai-nilai moral universal agama. Ini juga adalah tugas kita bersama, tak hanya bagi para pemimpin tokoh agama dan seluruh umat beragama, melainkan juga segenap unsur masyarakat lainnya untuk dapat terus menggali dan membumikan substansi ajaran agama. Dengan demikian suatu tatanan sosial yang terpadu dan harmoni di tengah masyarakat dan kepentingan bangsa yang kita dambakan, mudah-mudahan mampu kita wujudkan.

(Disarikan Ferry Rahmadi dari :
Buku SBY : Mengatasi Krisis, Menyelamatkan Reformasi,
dan referensi lainnya). 

Tidak ada komentar: